![Hari ini saya tanpa sengaja membuka arsip Sebuah Renungan](http://farm3.static.flickr.com/2336/2129252744_14946f56be.jpg)
Hari ini saya tanpa sengaja membuka arsip2 email. Tak sangka mata ini terhenti pada sebuah subject email "Sebuah Renungan" yang sempat saya kirim ke beberapa sahabat hampir 5 tahun yang lalu. Inilah isi email tersebut dan semoga sanggup menjadi renungan bagi kita betapa kita sesungguhnya telah berlebihan dalam hidup dan dzalim pada diri kita sendiri.
---------------------------------------------------------------------------------
Dari pinggir beling nako, di antara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya.Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya. Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud sampaumur yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang gres kelas 2 SMU itu?
Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah ia punya maksud jelek dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah kini ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari ketika orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, ibarat yang banyak diberitakan koran. Atau ia punya problem dengan Yudi, anak saya?
Kenakalan sampaumur ketika ini tidak lagi enteng. Tawuran telah mengakibatkan puluhan sampaumur meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat insiden jelek itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi ibarat ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk. Makara jikalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk. Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah ia menunggu hingga tidak ada orang yang memergoki?
Saya sedikit lega ketika anak muda itu bangun di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin ia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya,adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka ibarat tadi. Tapi di zaman ini,dengan peristiwa-peristiwa buruk, empati yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah? Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden,di samping beling nako. Saya masih was-was alasannya ialah anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.
Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya jikalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba jikalau belum apa-apa ada yang memukul. Tiba-tiba anak muda itu membalikkan tubuh dan masuk ke halaman rumah.
Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman jelek dengannya. Tapi anak muda itu tidak usang di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu alasannya ialah kaki saya masih lemas.
> * * *
Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua ahad yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kuliner ringan anggun waktu itu, Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain ialah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu hingga di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib. Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.
Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit ibarat ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, ibarat dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?
Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya ibarat ini:
> --------------------------------------
"Ibu yang baik, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya daerah untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak bisa membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah hingga kelas 2 STM saja. Tapi yang menciptakan saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.
Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras. Saya sadar, jikalau keadaan ibarat ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi hingga malam saya bekerja.
Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal berguru menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti jikalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan mau mendapatkan uang dari hasil judi, saya yakin itu.
Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak berpengaruh untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya hingga Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?
Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi. Di jalan, ketika saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan alasannya ialah apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan kendaraan beroda empat glamor melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.
Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat hambar malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet. Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya akal-akalan menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu,
Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya sanggup uang. Saya tolong-menolong ingin menyampaikan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya menyampaikan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.
Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu, tidak pernah saya mencicipi kebingungan ibarat ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih tolong-menolong saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya.
Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf."
> --------------------------------------
Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang gundah dan gelisah itu. Di setiap stopan daerah puluhan bawah umur berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi.Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya. Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu menciptakan saya tidak tenang. Ada sesuatu yang menghipnotis pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah mengusulkan buah tangan yang biasa saja.
Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan perilaku saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi harapan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju brand populer seharga jutaan, dan sebagainya. Saya menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali.
Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menyampaikan untuk merayakan di mana saja.Tapi saya ingin memasak di rumah, menciptakan makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.
Di stopan terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir dimata saya.Yuni menghampiri saya dan bilang, "Mama, saya gembira jadi anak Mama."
Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan bawah umur lainnya.
(Author Unknown)